Jumat, 12 Maret 2010

FILM DAN FUNGSI SOSIAL

Sebagai seorang penikmat film nasional, rasanya bangga melihat perkembangan perfilman nasional belakangan. Kreasi sineas nasional tak hanya membanggakan di dalam negeri tetapi pengakuan juga diberikan dunia internasional melalui penghargaan yang diberikan bagi sineas nasional. Kondisi macam ini sangat jadi adalah indikasi kebangkitan perfilman nasional. Meski harus diakui apresiasi publik terhadap karya perfilman nasional belum cukup optimal untuk membangun sebuah iklim perfilman yang baik.

Dalam konsepsi umum film merupakan media hiburan bagi penikmatnya, tapi dalam kenyataannnya film juga memiliki fungsi sosial, seperti yang diungkapkan Karl Manheim bahwa siaran televisi, film, dan media lain yang melibatkan khalayak dapat menimbulkan apa yang dirumuskan Manhein sebagai publik abstrak, meski publik abstrak tidak terorganisir, tapi reaksi terhadap stimulus yang sama yang diberikan melalui media diatas, akan bersesuaian dengan konsep integrasi sosial (Soejono Soekanto : 1985). Dari sana ternyata kita bisa melihat film tidak sekedar sebagai sebuah karya seni yang lantas bersama-sama kita nikmati, lebih dari itu film juga dapat dilihat sebagai sebuah bangunan sosial dari masyarakat yang ada dimana film itu diciptakan. Maka, kita kemudian dapat menarik sebuah benang merah bahwa film juga memiliki fungsi sosial.

Berbicara mengenai fungsi sosial film, kita tentu tak dapat melepaskan diri dari realita sosio-kultural yang mengitari film tersebut. Dalam konteks Indonesia kekinian, sebuah masalah besar yang dihadapi bangsa adalah, mulai hancurnya integrasi sosial, seperti diungkapkan Imam Prasodjo, bahwa kerekatan sosial (social bond) bangsa ini tengah berada pada titik terendah (2000).

Dari sketsa perfilman nasional dua-tiga tahun terakhir fungsi film sebagai media membangun integrasi sosial telah nampak, dapat kita lihat dalam film karya Garin Nugroho (Aku Ingin Menciummu Sekali Saja) atau film nasional terbaru (Biola dak berdawai). Dalam film-film tersebut nampak jelas bahwa film mencoba membangun kesadaran kolektif bangsa ini untuk mau dan sanggup mengakui pluralitas.

Maka, secara tidak langsung sudah tercapai kesepakatan bahwa film memang memiliki fungsi sosial yang cukup besar. Apalagi konon, film merupakan karya estetika yang memiliki bahasa universal, dimana audience tersebar melintasi lorong-lorong ideologis, agama, suku dan ras. Peluang film menjadi sarana membangun integrasi sosial menjadi sangat terbuka, apalagi ketika publik saat ini tengah meragukan institusi resmi bentukan negara.

Kemudian pertanyaan yang muncul apakah fungsi sosial film ini akan membebani para sineas Indonesia dalam melahirkan ide. Rasanya kebebasan ekspresi atau juga dimensi estetik dalam film tidak harus dipertentangkan dengan dimensi sosial film, karena keduanya merupakan hal yang inheren. Karena saya yakin, para pekerja film di negeri ini, apalagi para darah muda yang punya energi idealis memiliki sense of belonging terhadap bangsa ini, dan ketika bangsa membutuhkan sentuhan mereka guna membangun kembali integrasi sosial, tentu saja mereka akan menjadikan itu sebagai salah satu bagian penting dalam aktivitas mereka berkarya.

Selamat Tinggal Film Kacau

Selama rentang waktu dua dasawarsa tertidurnya perfilman nasional, film-film yang muncul film dengan kualitas yang rendah, tema yang diusung tak jauh dari ranjang dan setan. Bisa jadi publik menyambut film semacam itu dengan tangan terbuka, tapi saya melihat sambutan publik lebih disebabkan karena memang tidak ada pilihan tontonan, film yang muncul film seperti itu maka mau tak mau film itu yang dikonsumsi, kita mencatat ketika muncul Daun di Atas bantal publik menyambut dengan sangat antusias. Mengapa kami mengambil Daun di atas bantal, karena film inilah yang menjadi salah satu pendobrak lesunya perfilman nasional ketika itu.

Masa kejayaan film kacau sudah harus ditinggalkan, apalagi film-film tersebut ditinjau secara sosiologis hanya akan memberi stimulus negatif bagi publik. Lihat saja banyaknya kasus perkosaan yang ditimbulkan oleh film-film berbau ranjang tadi. Dengan munculnya film nasional dengan kualitas yang memadai secara berlahan akan menggeser paradigma penikmat film yang semula menjadikan film sekedar memiliki fungsi rekreatif menjadi paradigma yang menjadikan film memiliki fungsi ganda, fungsi sosial dan fungsi rekreatif.

Ada juga sebuah fenomena menarik dalam perfilman nasional saat ini, masih hadirnya film nasional yang berbau setan seperti Jelangkung atau yang akan menyusul Tusuk Jelangkung, tapi yang kini hadir adalah usaha merasionalkan keyakinan tradisonal seputar dunia klenik tersebut. Aspek tonjolan dalam film-film berbau setan tersebut lebih pada usaha elaborasi spiritual yang rasional ketimbang sekedar penekanan pada aspek keseraman dan ketegangan film. Kondisi-kondisi di atas menguatkan keyakinan bahwa masa kejayaan film-film kacau akan segera berlalu.

Film-film nasional saat ini juga memperlihatkan ada usaha menjadikan publik penikmat sebagai subjek bukan sekedar objek film, dimana proses dialektis antara penikmat film dan pekerja film diusahakan untuk berlangsung. Baik pada saat film akan diproduksi maupun pasca produksi, proses macam ini harus terus dilakukan jangan sampai kesalahan yang menimpa Pearl Harlbour yang notabene adalah film sejarah malah mengesampingkan fakta sejarah juga terjadi pada film nasional.

Merumuskan Fungsi Sosial Film

Bila kita mau merujukkan dunia film nasional dengan kondisi sosio-kultural masyarakat kita, maka ada beberapa tawaran fungsi sosial yang bisa diperankan film sebagai media stimulus.

Pertama, film sebagai media pelurusan sejarah, seperti kita ketahui sejarah bangsa ini menjadi sangat tidak jelas akibat banyaknya sejarah yang diciptakan penguasa dan salah satu media pereduksian sejarah dilakukan melalui film, meskipun tugas meluruskan sejarah bukan menjadi tanggung jawab sineas saat ini, tapi paling tidak ada beban untuk mencoba melakukan eksplorasi historis bangsa ini, mengingat film adalah media yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan.

Kedua, film harus ikut serta membangun integrasi sosial bangsa ini yang disebut-sebut tengah berada di tepi jurang, meski mungkin isu-isu seputar integrasi sosial isu yang tidak terlalu menarik untuk dijadikan bahan film, tapi tanggung jawab membangun kembali integritas sosial adalah tanggung jawab kita bersama, salah satunya adalah dunia perfilman nasional. Film harus mampu menjadi jembatan dalam dialog pluralitas di negeri ini, ada baiknya film mampu menjelaskan pluralitas di negeri ini dalam bahasa yang mudah dipahami hingga esensi integrasi sosial dapat terbangun melalui kesadaran yang dimediasikan oleh film.

Ketiga, film harus ikut dalam proses demokratisasi di negeri ini, peran sebagai campaign media untuk kelangsungan proses demokrasi dapat diperankan oleh dunia film nasional, film diharapkan mampu mentransformasikan nilai-nilai demokrasi ke audience.

Fungsi-fungsi tambahan bagi film nasional di atas tidak dimaksudkan untuk membatasi kreativitas para sineas dalam berkarya, fungsi-fungsi tersebut merupakan fungsi yang muncul secara natural, sebagai bentuk persinggungan antara dunia film nasional dengan realitas sosio-kultural-politik bangsa ini. Jadi, sangat tidak beralasan jika fungsi sosial film dianggap menjadi beban bagi pekerja film di Indonesia.

Akhirnya proses dialog antara film sebagai bangunan tersendiri dimana aspek estetik menjadi pusat dengan kondisi sosio-kultural-politik lingkungan yang mengitarinya, maka waktulah yang akan menjawab segala harapan-harapan pada perfilman nasional dalam memainkan fungsi-fungsi sosialnya.

Semoga perfilman nasional mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan bisa dibanggakan sebagai produk original anak negeri.
Sumber: http://caterpilar1.tripod.com/caterpilarquotthelongawayquot/id6.html
KONSEP MANAJEMEN STRATEGIK SEBAGAI PARADIGMA BARU
DI LINGKUNGAN ORGANISASI PENDIDIKAN

I. PENDAHULUAN
Dalam bidang ekonomi khususnya di lingkungan bisnis yang mengembangkan
manajemen secara teoritis dan praktis, Manajemen Strategik telah cukup lama dikenal dan
dikembangkan. Berbeda dengan di lingkungan organisasi non profit, khususnya bidang
pendidikan, kehadiran Manajemen Strategik pada dasarnya merupakan suatu paradigma baru.
Sebagai paradigma baru, jika diimplementasikan pada lingkungan organisasi pendidikan, tidak
mungkin dilakukan sebagai kegiatan pengambilalihan seluruh kegiatannya sebagaimana
dilaksanakan di lingkungan organisasi profit (bisnis), karena kedua organisasi tersebut satu
dengan yang lain berbeda dalam banyak aspek, terutama dari segi filsafat yang mendasarinya
dan tujuan yang hendak dicapai.
Pengimplementasian Manajemen Strategik di lingkungan organisasi bidang bisnis
didasari oleh falsafah yang berisi nilai – nilai persaingan bebas antar organisasi bisnis sejenis,
melalui pendayagunaan semua sumber yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang bersifat
strategik. Tujuan tersebut adalah mempertahankan dan mengembangkan eksistensi masing –
masing untuk jangka waktu panjang, melalui kemampuan meraih laba kompetitif secara
berkelanjutan. Sedang organisasi pendidikan didasari oleh filsafat yang berisi nilai – nilai
pengabdian dan kemanusiaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Perbedaan lain terletak
pada pengorganisasian masing – masing. Setiap organisasi profit memiliki otonomi dalam
menjalankan manajemennya, berupa kebebasan mewujudkan pengembangan organisasinya
antara lain dengan memilih pengimplementasian Manejemen Strategik atau manajemen
lainnya yang dinilai terbaik. Di organisasi non profit khususnya bidang pendidikan, organisasi
ini diatur dengan manajemen umum oleh pemerintah Pusat ataupunn daerah, yang secara
berencana dan sistematis telah menetapkan berbagai pengaturan yang mengikat dalam memilih
dan mengimplementasikan manajemennya.
II. PERMASALAHAN
Untuk mempertajam telaah dalam makalah ini, penulis mengambil suatu
permasalahan mendasar, yaitu : Apa manfaat dan keunggulan Manajemen Strategik bagi
Organisasi Non Profit (Pendidikan) ?
III. TUJUAN PENULISAN
Sesuai dengan permasalahan yang ada, maka tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk memaparkan manfaat dan keunggulan Manajemen Strategik bagi Organisasi Non
Profit ( Pendidikan), sehingga dapat menjadikan acuan dalam mengadopsinya di lingkungan
organisasi pendidikan.
IV. PEMBAHASAN
1. Pengertian Manajemen Strategik
Manajemen Strategik merupakan rangkaian dua perkataan terdiri dari kata
“Manajemen” dan “Strategik” yang masing – masing memiliki pengertian tersendiri,
yang setelah dirangkaikan menjadi satu terminologi berubah dengan memiliki pengertian
tersendiri pula. Menurut Hadari Nawawi (2005:148-149), pengertian manajemen strategik
ada 4 (empat). Pengertian pertama Manajemen Strategik adalah “proses atau rangkaian
kegiatan pengambilan keputusan yang bersifat mendasar dan menyeluruh, disertai
penetapan cara melaksanakannya, yang dibuat oleh manajemen puncak dan
dimplementasikan oleh seluruh jajaran di dalam suatu organiasasi, untuk mencapai
tujuannya”. Dari pengertian tersebut terdapat beberapa aspek yang penting, antara lain :
(a) Manajemen Strategik merupakan proses pengambilan keputusan. (b) Keputusan yang
ditetapkan bersifat mendasar dan menyeluruh yang berarti berkenaan dengan aspek –
aspek yang penting dalam kehidupan sebuah organisasi, terutama tujuannya dan cara
melaksanakan atau cara mencapainya. (c) Pembuatan keputusan tersebut harus dilakukan
atau sekurang – kurangnya melibatkan pimpinan puncak (kepala sekolah), sebagai
penanggung jawab utama pada keberhasilan atau kegagalan organisasinya. (d)
Pengimplementasian keputusan tersebut sebagai strategi organisasi untuk mencapai tujuan
strategiknya dilakukan oleh seluruh jajaran organisasi (warga sekolah), seluruhnya harus
mengetahui dan menjalankan peranan sesuai wewenang dan tanggung jawab masing –
masing. (e) Keputusan yang ditetapkan manajemen puncak (kepala sekolah) harus
diimplementasikan oleh seluruh warga sekolah dalam bentuk kegiatan/pelaksanaan
pekerjaan yang terarah pada tujuan strategik organisasi.
Pengertian manajemen strategik yang kedua adalah “usaha manajerial
menumbuhkembangkan kekuatan organisasi untuk mengeksploitasi peluang yang muncul
guna mencapai tujuannya yang telah ditetapkan sesuai dengan misi yang telah
ditentukan”. Dari pengertian tersebut terdapat konsep yang secara relatif luas dari
pengertian pertama yang menekankan bahwa “manajemen strategik merupakan usaha
manajerial menumbuhkembangkan kekuatan organisasi”, yang mengharuskan kepala
sekolah dengan atau tanpa bantuan manajer bawahannya (Wakasek, Pembina Osis,
Kepala Tata Usaha), untuk mengenali aspek – aspek kekuatan organisasi yang sesuai
dengan misinya yang harus ditumbuhkembangkan guna mencapai tujuan strategik yang
telah ditetapkan. Untuk setiap peluang atau kesempatan yang terbuka harus dimanfaatkan
secara optimal.
Pengertian yang ketiga, Manajemen Strategik adalah “arus keputusan dan
tindakan yang mengarah pada pengembangan strategi yang efektif untuk membantu
mencapai tujuan organisasi”. Pengertian ini menekankan bahwa arus keputusan dari para
pimpinan organisasi (Ka Dinas, Kepala Sekolah) dan tindakan berupa pelaksanaan
keputusan, harus menghasilkan satu atau lebih strategis, sehingga dapat memilih yang
paling efektif atau yang paling handal dalam usaha mencapai tujuan organisasi.
Pengertian yang keempat, “manajemen strategik adalah perencanaan berskala
besar (disebut Perencanaan Strategik) yang berorientasi pada jangkauan masa depan
yang jauh (disebut VISI), dan ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak
(keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar memungkinkan organisasi
berinteraksi secara efektif (disebut MISI), dalam usaha menghasilkan sesuatu
(Perencanaan Operasional) yang berkualitas, dengan diarahkan pada optimalisasi
pencapaian tujuan (disebut Tujuan Strategik) dan berbagai sasaran (Tujuan
Operasional) organisasi.” Pengertian yang cukup luas ini menunjukkan bahwa
Manajemen Strategik merupakan suatu sistem yang sebagai satu kesatuan memiliki
berbagai komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, dan bergerak
secara serentak ke arah yang sama pula. Komponen pertama adalah Perencanaan Strategik
dengan unsur – unsurnya yang terdiri dari Visi, Misi, Tujuan Strategik organisasi. Sedang
komponen kedua adalah Perencanaan Operasional dengan unsur – unsurnya adalah
Sasaran atau Tujuan Operasional, Pelaksanaan Fungsi – fungsi manajemen berupa fungsi
pengorganisasian, fungsi pelaksanaan dan fungsi penganggaran, kebijaksanaan
situasional, jaringan kerja Internal dan eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi serta umpan
balik. Diagram manajemen strategik sebagai suatu sistem dapat dilihat pada halaman
berikut:




Diagram 1. Manajemen Strategik Sebagai Sistem
(Hadari Nawawi (2005 : 151)

Di samping itu dari pengertian Manajemen Strategik yang terakhir, dapat
disimpulkan beberapa karakteristiknya sebagai berikut :

a. Manajemen Strategik diwujudkan dalam bentuk perencanaan berskala besar dalam arti
mencakup seluruh komponen di lingkungan sebuah organisasi yang dituangkan dalam
bentuk Rencana Strategik (RENSTRA) yang dijabarkan menjadi Perencanaan
Operasional (RENOP), yang kemudian dijabarkan pula dalam bentuk Program –
program kerja.
b. Rencana Strategik berorientasi pada jangkauan masa depan ( 25 – 30 tahun). Sedang
Rencana Operasionalnya ditetapkan untuk setiap tahun atau setiap lima tahun.
c. VISI, MISI, pemilihan strategik yang menghasilkan Strategi Utama (Induk) dan
Tujuan Strategik Organisasi untuk jangka panjang, merupakan acuan dalam
merumuskan RENSTRA, namun dalam teknik penempatannya sebagai keputusan
Manajemen Puncak secara tertulis semua acuan tersebut terdapat di dalamnya.
d. RENSTRA dijabarkan menjadi RENOP yang antara lain berisi program – program
operasional.
e. Penetapan RENSTRA dan RENOP harus melibatkan Manajemen Puncak (Pimpinan)
karena sifatnya sangat mendasar dalam pelaksanaan seluruh misi organisasi.
f. Pengimplementasian Strategi dalam program – program untuk mencapai sasarannya
masing – masing dilakukan melalui fungsi – fungsi manajemen yang mencakup
pengorganisasian, pelaksanaan, penganggaran dan kontrol.
Berdasarkan karakteristik dan komponen Manajemen Strategik sebagai sistem,
terlihat banyak faktor yang mempengaruhi tingkat intensitas dan formalitas
pengimplementasiannya di lingkungan organisasi non profit (pendidikan). Beberapa
faktor tersebut antara lain adalah ukuran besarnya organisasi, gaya manajemen dari
pimpinan, kompleksitas lingkungan ideologi, sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya
termasuk kependudukan, peraturan pemerintah dsb. sebagai tantangan eksternal. Tingkat
intensitas dan formalitas itu dipengaruhi juga oleh tantangan internal, antara lain berupa
kemampuan menterjemahkan strategi menjadi proses atau rangkaian kegiatan pelaksanaan
pekerjaan sebagai pelayanan umum yang efektif, efisien dan berkualitas (dalam bidang
pendidikan misalnya menetapkan model/sistem instruksional, sumber – sumber belajar,
media pembelajaran dll).
2. Dimensi – Dimensi Manajemen Strategik
Berdasarkan pengertian dan karakteristiknya dapat disimpulkan bahwa
Manajemen Strategik memiliki beberapa dimensi atau bersifat multidimensional. Dimensi
– dimensi dimaksud adalah :
a. Dimensi Waktu dan Orientasi Masa Depan
Manajemen Strategik dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensi suatu
organisasi berpandangan jauh ke masa depan, dan berperilaku proaktif dan antisipatif
terhadap kondisi masa depan yang diprediksi akan dihadapi. Antisipasi masa depan
tersebut dirumuskan dan ditetapkan sebagai Visi organisasi yang akan diwujudkan 25 –
30 tahun lebih di masa depan. Menurut Hadari Nawawi (2005 : 155), Visi dapat
diartikan sebagai “kondisi ideal yang ingin dicapai dalam eksistensi organisasi di masa
depan”. Sehubungan dengan itu Lonnie Helgerson yang dikutip oleh J. Salusu dalam
bukunnya Hadari Nawawi mengatakan bahwa : “Visi adalah gambaran kondisi masa
depan dari suatu organisasi yang belum tampak sekarang tetapi merupakan konsepsi
yang dapat dibaca oleh setiaporang (anggota organisasi). Visi memiliki kekuatan yang
mampu mengundang, memanggil, dan menyerukan pada setiap orang untuk memasuki
masa depan. Visi organisasi harus dirumuskan oleh manajemen puncak organisasi”.
Masih menurut J. Salusu yang mengutip pendapat Naisibit : “Visi merupakan
gambaran yang jelas tentang apa yang akan dicapai berikut rincian dan instruksi
setiap langkah untuk mencapai tujuan. Suatu visi dikatakan efektif jika sangat
diperlukan dan memberikan kepuasan, menghargai masa lalu sebagai pengantar
massa depan”. Masih dalam Hadari Nawawi, menurut Kotler yang juga dikutip oleh J.
Salusu dikatakan bahwa : “Visi adalah pernyataan tentang tujuan organisasi yang
diekspresikan dalam produk dan pelayanan yang ditawarkan, kebutuhan yang dapat
ditanggulangi, kelompok masyarakat yang dilayani, nilai-nilai yang diperoleh, serta
aspirasi dan cita – cita masa depan. Sehingga secara sederhana Visi organisasi dapat
diartikan sebagai sudut pandang ke masa depan dalam mewujudkan tujuan strategik
organisasi, yang berpengaruh langsung pada misinya sekarang dan di masa depan.
Sehubungan dengan itu Misi organisasi pada dasarnya berarti keseluruhan tugas pokok
yang dijabarkan dari tujuan strategik untuk mewujudkan visi organisasi.
b. Dimensi Internal dan Eksternal
Dimensi Internal adalah kondisi organisasi non profit (pendidikan) pada saat sekarang,
berupa kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang harus diketahui secara tepat.
Untuk itu perlu dilakukan kegiatan EVALUASI DIRI antara lain dengan menggunakan
Analisis Kuantitatif dengan menggunakan perhitungan – perhitungan statistik,
menggunakan data kuantitatif yang tersedia di dalam Sistem Informasi Manajemen
(SIM). Namun kerap kali data kuantitatif tidak memadai, karena lemahnya SIM dalam
mencatat, mencari, melakukan penelitian dan mengembangkan data pada masa lalu.
Oleh karena itu Evaluasi Diri tidak boleh tergantung sepenuhnya pada data kuantitatif,
karena dapat juga dilakukan dengan Analisis Kualitatif dengan menggunakan berbagai
informasi kualitatif atau sebagian data kuantitatif dan sebagian lagi data kualitatif.
Untuk Analisis Kualitatif dapat dilakukan dengan menggunakan Analisis SWOT.
Dimensi lingkungan eksternal pada dasarnya merupakan analisis terhadap lingkungan
sekitar organisasi (sekolah), yang terdiri dari Lingkungan Operasional, Lingkungan
Nasional dan Lingkungan Global, yang mencakup berbagai aspek atau kondisi, antara
lain kondisi sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya, kemajuan dan perkembangan
ilmu dan teknologi, adat istiadat, agama, dll. Pengimplementasian Manajemen Strategik
perlu mengidentifikasi dan mendayagunakan kelebihan atau kekuatan dan mengatasi
hambatan atau kelemahan organisasi.
c. Dimensi Pendayagunaan Sumber – Sumber.
Manajemen strategik sebagai kegiatan manajemen tidak dapat melepaskan diri dari
kemampuan mendayagunakan berbagai sumber daya yang dimiliki, agar secara
terintegrasi terimplementasikan dalam fungsi – fungsi manajemen ke arah tercapainya
sasaran yang telah ditetapkan di dalam setiap RENOP, dalam rangka mencapai Tujuan
Strategik melalui pelaksanaan Misi untuk mewujudkan Visi Organisasi (sekolah).
Sumber daya yang ada terdiri dari Sumber Daya Material khususnya berupa sara dan
prasarana, Sumber Daya finansial dalam bentuk alokasi dana untuk setiap program,
Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Teknologi dan Sumber Daya Informasi. Semua
sumberdaya ini dikategorikan dalam sumber daya internal, yang dalam rangka evaluasi
diri (Analisis Internal) harus diketahui dengan tepat kondisinya.
d. Dimensi Keikutsertaan Manajemen Puncak (Pimpinan)
Manajemen strategik yang dimulai dengan menyusun Rencana Strategik merupakan
pengendalian masa depan organisasi, agar eksistensi sesuai dengan visinya dapat
diwujudkan. Rencana Strategik harus mampu mengakomodasi seluruh aspek kehidupan
organisasi yang berpengaruh pada eksistensinya di masa depan merupakan wewenag
dan tanggung jawab manajemen puncak. Rencana Strategik sebagai keputusan utama
yang prinsipil, tidak saja ditetapkan dengan mengikutsertakan, tetapi harus dilakukan
secara proaktif oleh manajemen puncak, karena seluruh kegiatan untuk
merealisasikannya merupakan tanggung jawabnya.
e. Dimensi Multi Bidang
Manajemen Strategik sebagai Sistem, pengimplementasiannya harus didasari dengan
menempatkan organisasi sebagai suatu sistem. Dengan demikian berarti sebuah
organisasi akan dapat menyusun RENSTRA dan RENOP jika tidak memiliki
keterikatan atau ketergantungan sebagai bawahan pada organisasi lain sebagai atasan.
Dalam kondisi sebagai bawahan (sekolah merupakan bawahan Dinas P & K) berarti
tidak memiliki kewenangan penuh dalam memilih dan menetapkan visi, misi, tujuan
dan strategi. Sekolah hanya berperan sebagai penyusun RENOP dan program tahunan.
Dari uraian tersebut jelas bahwa RENSTRA dan RENOP bersifat multi dimensi,
terutama jika perumusan RENSTRA hanya dilakukan pada banyak organisasi non
profit termasuk pendidikan yang tertinggi. Dengan dimensi yang banyak tersebut, maka
mudah terjadi tidak seluruh dimensi dapat diakomodasi.
3. Keunggulan dan Manfaat Manajemen Strategik Bagi Organisasi Pendidikan
Pengimplementasian Manajemen Strategik melalui perumusan RENSTRA dan
RENOP dengan menggunakan strategi tertentu dalam melaksanakan fungsi- fungsi
manajemen, dan mewujudkan tugas pokok dilingkungan organisasi pendidikan harus
diukur dan dinilai keunggulannya. Dari pengukuran tersebut dan seluruh proses
pengimplementasiannya, maka diketahui manfaat Manajemen Strategik bagi organisasi.
Keunggulan dan Manfaat Manajemen Strategik dalam organasasi pendidikan antara lain :
a. Keunggulan Implementasi Manajemen Strategik
Keunggulan implementasi manajemen strategik dapat dievaluasi dengan menggunakan
tolok ukur sebagai berikut :
1) Profitabilitas
Keunggulan ini menunjukkan bahwa seluruh pekerjaan diselenggarakan secara
efektif dan efisien, dengan penggunaan anggaran yang hemat dan tepat,
sehingga diperoleh profit berupa tidak terjadi pemborosan.
2) Produktivitas Tinggi
Keunggulan ini menunjukkan bahwa jumlah pekerjaan (kuantitatif) yang dapat
diselesaikan cenderung meningkat. Kekeliruan atau kesalahan dalam bekerja
semakin berkurang dan kualitas hasilnya semakin tinggi, serta yang terpenting
proses dan hasil memberikan pelayanan umum (siswa dan masyarakat) mampu
memuaskan mereka.
3) Posisi Kompetitif
Keunggulan ini terlihat pada eksistensi sekolah yang diterima, dihargai dan
dibutuhkan masyarakat. Sifat kompetitif ini terletak pada produknya (mis :
kualitas lulusan) yang memuaskan masyarakat yang dilayani.
4) Keunggulan Teknologi
Semua tugas pokok berlangsung dengan lancar dalam arti pelayanan umum
dilaksanakan secara cepat, tepat waktu, sesuai kualitas berdasarkan tingkat
keunikan dan kompleksitas tugas yang harus diselesaikan dengan tingkat
rendah, karena mampu mengadaptasi perkembangan dan kemajuan teknologi.
5) Keunggulan SDM
Di lingkungan organisasi pendidikan dikembangkan budaya organisasi yang
menempatkan manusia sebagai faktor sentral, atau sumberdaya penentu
keberhasilan organisasi. Oleh karena itu SDM yang dimiliki terus
dikembangkan dan ditingkatkan pengetahuan, ketrampilan, keahlian dan
sikapnya terhadap pekerjaannya sebagai pemberi pelayanan kepada siswa.
Bersamaan dengan itu dikembangkan pula kemampuan memecahkan masalah
yang dihadapi oleh sekolah pada masa sekarang dan untuk mengantisipasi
masalah – masalah yang timbul sebagai pengaruh globalisasi di masa yang akan
datang.
6) Iklim Kerja
Tolok ukur ini menunjukkan bahwa hubungan kerja formal dan informal
dikembangkan sebagai budaya organisasi berdasarkan nilai – nilai kemanusiaan.
Di dalam budaya organisasi pendidikan, setiap SDM sebagai individu dan
anggota organisasi terwujud hubungan formal dan hubungan informal antar
personil yang harmonis sesuai dengan posisi, wewenang dan tanggung jawab
masing – masing di dalam dan di luar jam kerja.
7) Etika dan Tanggung Jawab Sosial
Tolok ukur ini menunjukkan bahwa dalam bekerja terlaksana dan
dikembangkan etika dan tanggung jawab sosial yang tinggi, dengan selalu
mendahulukan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara di atas kepentingan
pribadi, kelompok dan/atau organisasi.
Tolok ukur keunggulan tersebut di atas sangat penting artinya bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sekarang dan di masa mendatang. Untuk itu
diperlukan kerjasama dan dukungan masyarakat dalam menumbuhkembangkan
organisasi dalam mengimplementasikan Manajemen Strategik secara optimal, agar
keunggulan – keunggulan di atas dapat diwujudkan yang hasilnya akan menguntungkan
masyarakat pula.
Dalam kenyataan yang pada masa sekarang, bagi organisasi pendidikan (sekolah)
kondisi untuk mewujudkan keunggulan tersebut masih menghadapi berbagai dilema.
Organisasi pendidikan yang ada pada saat ini secara relatif bersifat konsumtif, sedang
untuk melaksakan Manajemen Strategik secara relatif diperlukan dana/anggaran yang
tidak sedikit. Dalam kondisi seperti ini sangat diperlukan kemampuan mewujudkan
keseimbangan antara kesediaan pemerintah dalam menyediakan dana/anggaran yang
memadai, dan dalam menggali serta mengatur pendayagunaan sumber – sumber daya
lain, seperti orang tua, masyarakat, pinjaman/bantuan.
b. Manfaat Manajemen Strategik
Berdasarkan keunggulan yang dapat diwujudkan seperti telah diuraikan di atas, berarti
dalam pengimplemantasian Manajemen Strategik di lingkungan organisasi pendidikan
terdapat beberapa manfaat yang dapat memperkuat usaha mewujudkannya secara
efektif dan efisien. Manfaat yang dapat dipetik adalah : “manajemen strategik dapat
mengurangi ketidakpastian dan kekomplekan dalam menyusun perencanaan sebagai
fungsi manajemen, dan dalam proses pelaksanaan pekerjaan dengan menggunakan
semua sumber daya yang secara nyata dimiliki melalui proses yang terintegrasi
dengan fungsi manajemen yang lainnya dan dapat dinilai hasilnya berdasarkan tujuan
organisasi.” Secara terinci manfaat manajemen strategik bagi organisasi non profit
(pendidikan) adalah :
1) Organisasi pendidikan (sekolah) sebagai organisasi kerja menjadi dinamis, karena
RENSTRA dan RENOP harus terus menerus disesuaikan dengan kondisi realistik
organisasi (analisis internal) dan kondisi lingkungan (analisis eksternal) yang selalu
berubah terutama karena pengaruh globalisasi. Dengan kata lain Manajemen
Strategik sebagai pengelolaan dan pengendalian yang bekerja secara realistik dalam
dinamikanya, akan selalu terarah pada Tujuan Strategik dan Misi yang realistik
pula.
2) Implementasi Manajemen strategik melalui realiasi RENSTRA dan RENOP
berfungsi sebagai pengendali dalam mempergunakan semua sumber daya yang
dimiliki secara terintegrasi dalam pelaksanaan fungsi – fungsi manajemen, agar
berlangsung sebagai proses yang efektif dan efisien. Dengan demikian berarti
Manajemen Strategik mampu menunjang fungsi kontrol, sehingga seluruh proses
pencapaian Tujuan Strategik dan perwujudan Visi berlangsung secara terkendali.
3) Manajemen Strategik diimplementasikan dengan memilih dan menetapkan strategi
sebagai pendekatan yang logis, rasional dan sistematik, yang menjadi acuan untuk
mempermudah perumusan dan pelaksanaan program kerja. Strategi yang dipilih
dan disepakati dapat memperkecil dan bahkan meniadakan perbedaan dan
pertentangan pendapat dalam mewujudkan keunggulan yang terarah pada
pencapaian tujuan strategik.
4) Manajemen Strategik dapat berfungsi sebagai sarana dalam mengkomunikasikan
gagasan, kreativitas, prakarsa, inovasi dan informasi baru serta cara merespon
perubahan dan perkembangan lingkungan operasional, nasional dan global, pada
semua pihak sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya. Dengan demikian
akan memudahkan dalam menyepakati perubahan atau pengembangan strategi yang
akan dilaksanakan, sesuai dengan atau tanpa merubah keunggulan yang akan
diwujudkan oleh organisasi.
5) Manajemen Strategik sebagai paradigma baru di lingkungan organisasi pendidikan,
dapat mendorong perilaku proaktif semua pihak untuk ikut serta sesuai posisi,
wewenang dan tanggungjawab masing – masing. Dengan demikian setiap unit dan
atau satuan kerja akan berusaha mewujudkan keunggulan di bidangnya untuk
memperkuat keunggulan organisasi.
6) Manajemen Strategik di dalam organisasi pendidikan menuntut semua yang terkait
untuk ikut berpartisipasi, yang berdampak pada meningkatnya perasaan ikut
memiliki (sense of belonging), perasaan ikut bertanggungjawab (sense of
responsibility), dan perasaan ikut berpartisipasi (sense of participation). Dengan
kata lain manajemen strategik berfungsi pula menyatukan sikap bahwa keberhasilan
bukan sekedar untuk menajemen puncak, tetapi merupakan keberhasilan bersama
atau untuk keseluruhan organisasi dan bahkan untuk masyarakat yang dilayani.
Berdasarkan uraian tentang keunggulan dan manfaat manajemen
strategik di atas perlu dipahami bahwa pengimplementasiannya di lingkungan
organisasi pendidikan bukanlah jaminan kesuksesan. Keberhasilan tergantung pada SD|
M atau pelaksananya bukan pada Manajemen Strategik sebagai sarana. SDM sebagai
pelaksana harus terdiri dari personil yang profesional, memiliki wawasan yang luas dan
yang terpenting adalah memiliki komitmen yang tinggi terhadap moral dan/atau etika
untuk tidak menggunakan manajemen strategik demi kepentingan diri sendiri atau
kelompok.
V. KESIMPULAN
Dari uraian di atas penulis dapat menarik kesimpulan tentang keunggulan
implementasi dan manfaat manajemen strategik dalam organisasi pendidikan, yaitu :
1. Keunggulan Implementasi Manajemen Strategik
Dengan menerapkan Manajemen Strategik, maka organisasi pendidikan (sekolah) akan
memiliki keunggulan, antara lain : profitabilitas, produktifitasi tinggi, memiliki posisi
kompetitif, keunggulan teknologi, keunggulan Sumber Daya Manusia, Iklim kerja yang
kondusif, etika dan tanggung jawab sosial yang berkembang.
2. Manfaat Manajemen Strategik
Manfaat yang diperoleh dari implementasi manajemen strategik adalah :
- organisasi menjadi dinamis,
- fungsi kontrol berjalan dengan efektif dan efisien
- meniadakan perbedaan dan pertentangan pendapat dalam mewujudkan keunggulan
- memudahkan dalam menyepakati perubahan atau pengembangan strategi yang
akan dilaksanakan
- mendorong perilaku proaktif bagi semua pihak untuk ikut serta mewujudkan
keunggulan
- meningkatkan perasaan ikut memiliki, berpartisipasi aktif dan tanggung jawab
bagi semua komponen organisasi.


DAFTAR PUSTAKA
Adnan Sandy Setiawan (200); “Manajemen Perguruan Tinggi Di Tengah Perekonomian
Pasar dan Pendidikan Yang Demokratis “, “INDONews (s)”indonews@indonews.
com. 24 Maret 2006
Ani M. Hasan (2003); “Pengembangan Profesional Guru di Abad Pengetahuan”,
Pendidikan Network : 24 Maret 2006
Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998); Total Quality Management (TQM), Andi
Offset : Yogyakarta
Frietz R Tambunan (2004); “Mega Tragedi Pendidikan Nasional”, Kompas : 16 Juni
2004
Hadari Nawawi (2005); Manajemen Strategik, Gadjah Mada Pers : Yogyakarta
Thomas B. Santoso (2001), “ Manajemen Sekolah di Masa Kini (1)”, Pendidikan Network
: 24 Maret 2006
Siswanto