Cepat atau lambat, perdagangan bebas pasti akan mendatangi Indonesia, meskipun belakangan ada keinginan untuk menundanya. Sebegitu burukkah CAFTA bagi perekonomian kita.

Staf Ahli Menteri Keuangan Chatib Basri menilai implementasi China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) tidak perlu ditakutkan. Itu karena yang terjadi hanyalah legalisasi barang selundupan asal China.

"Kita khawatir untuk sesuatu yang sudah terjadi, barang-barang China sudah ada di sini lewat selundupan. Jadi, sekarang hanya dilegalisasi saja," kata Chatib seusai diskusi bertema "100 Hari SBY dan Arah Ekonomi Indonesia" di Jakarta, Selasa (2/2/2010) malam.

Menurut dia, terjadinya selundupan barang asal China karena adanya perbedaan harga barang di China dan Indonesia yang disebabkan pengenaan tarif bea masuk. Oleh karena itu, dengan adanya penurunan tarif akibat implementasi CAFTA, harga barang-barang selundupan itu akan menjadi sama dengan harga di China.

"Kalau sekarang tarifnya diturunkan, orang akan masuk ke impor yang legal. Dampaknya akan terlihat di data impor nanti," ujarnya.

Chatib mengatakan, masuknya barang-barang asal China telah terjadi sejak 10 tahun terakhir. Penurunan tarif bea masuk juga dinilai tidak akan berakibat pada melonjaknya impor. "Ketika tarif turun, sebenarnya rata-rata tarif kita sudah rendah, yaitu 7 persen. Jadi, kalau diturunkan (lagi), akibatnya tidak akan sengeri yang dibayangkan," tambahnya.

Peneliti senior The Habibie Centre, Umar Juoro, mengatakan, dampak penerapan CAFTA tidak bisa dicegah meskipun berhasil ditunda. "Berapa pun lamanya CAFTA ditunda, tidak bisa kita cegah. Yang menjadi masalah adalah China tidak mau memindahkan industri manufakturnya ke Indonesia karena itu penyerap tenaga kerja utama negaranya," kata Umar.

Oleh karena itu, Umar menegaskan bahwa pemerintah harus bisa mendorong pengusaha memanfaatkan pasar yang terbuka akibat CAFTA itu. "Tantangannya adalah bagaimana membuat strategi yang selektif agar masyarakat kita mendapat manfaat lebih banyak," tuturnya.